Kamis, 18 Maret 2010

Indera Peraba

Desember 12, 2008
Indera Peraba (Kulit )
Diarsipkan di bawah: Sistem Koordinasi dan Indera — gurungeblog @ 5:57 am
Tags: epidermis, Indera Peraba, kulit, Reseptor
Kulit merupakan indra peraba yang mempunyai reseptor khusus untuk sentuhan, panas, dingin, sakit, dan tekanan.
1. Susunan Kulit

struktur-kulit
Kulit terdiri dari lapisan luar yang disebut epidermis dan lapisan dalam atau lapisan dermis. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah dan sel saraf. Epidermis tersusun atas empat lapis sel. Dari bagian dalam ke bagian luar, pertama adalah stratum germinativum berfungsi membentuk lapisan di sebelah atasnya. Kedua, yaitu di sebelah luar lapisan germinativum terdapat stratum granulosum yang berisi sedikit keratin yang menyebabkan kulit menjadi keras dan kering. Selain itu sel-sel dari lapisan granulosum umumnya menghasilkan pigmen hitam (melanin). Kandungan melanin menentukan derajat warna kulit, kehitaman, atau kecoklatan. Lapisan ketiga merupakan lapisan yang transparan disebut stratum lusidum dan lapisan keempat (lapisan terluar) adalah lapisan tanduk disebut stratum korneum.
Penyusun utama dari bagian dermis adalah jaringan penyokong yang terdiri dari serat yang berwarna putih dan serat yang berwarna kuning. Serat kuning bersifat elastis/lentur, sehingga kulit dapat mengembang.
Stratum germinativum mengadakan pertumbuhan ke daerah dermis membentuk kelenjar keringat dan akar rambut. Akar rambut berhubungan dengan pembuluh darah yang membawakan makanan dan oksigen, selain itu juga berhubungan dengan serabut saraf. Pada setiap pangkal akar rambut melekat otot penggerak rambut. Pada waktu dingin atau merasa takut, otot rambut mengerut dan rambut menjadi tegak. Di sebelah dalam dermis terdapat timbunan lemak yang berfungsi sebagai bantalan untuk melindungi bagian dalam tubuh dari kerusakan mekanik.
2. Fungsi Kulit
Kulit berfungsi sebagai alat pelindung bagian dalam, misalnya otot dan tulang; sebagai alat peraba dengan dilengkapi bermacam reseptor yang peka terhadap berbagai rangsangan; sebagai alat ekskresi; serta pengatur suhu tubuh.
Sehubungan dengan fungsinya sebagai alat peraba, kulit dilengkapi dengan reseptor reseptor khusus. Reseptor untuk rasa sakit ujungnya menjorok masuk ke daerah epidermis. Reseptor untuk tekanan, ujungnya berada di dermis yang jauh dari epidermis. Reseptor untuk rangsang sentuhan dan panas, ujung reseptornya terletak di dekat epidermis.
( sumber : http://gurungeblog.wordpress.com/2008/12/12/indera-peraba-kulit/

Retardasi Mental ( Pendahuluan )

Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental.1

Retardasi mental bukan suatu penyakit walaupun retardasi mental merupakan hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberikan gambaran keterbatasan terhadap intelektual dan fungsi adaptif.2 Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya. 3

Hasil bagi intelegensi (IQ = “Intelligence Quotient”) bukanlah merupakan satu-satunya patokan yang dapat dipakai untuk menentukan berat ringannya retardasi mental. Sebagai kriteria dapat dipakai juga kemampuan untuk dididik atau dilatih dan kemampuan sosial atau kerja. Tingkatannya mulai dari taraf ringan, sedang sampai berat, dan sangat berat.4,5
Klasifikasi retardasi mental menurut DSM-IV-TR yaitu :2
1. Retardasi mental berat sekali
IQ dibawah 20 atau 25. Sekitar 1 sampai 2 % dari orang yang terkena retardasi mental.
2. Retardasi mental berat
IQ sekitar 20-25 sampai 35-40. Sebanyak 4 % dari orang yang terkena retardasi mental.
3. Retardasi mental sedang
IQ sekitar 35-40 sampai 50-55. Sekitar 10 % dari orang yang terkena retardasi mental.
4. Retardasi mental ringan
IQ sekitar 50-55 sampai 70. Sekitar 85 % dari orang yang terkena retardasi mental. Pada umunya anak-anak dengan retardasi mental ringan tidak dikenali sampai anak tersebut menginjak tingkat pertama atau kedua disekolah.

( sumber : http://www.jevuska.com/2007/01/19/retardasi-mental )

Berapa IQ yang normal.

Seorang anak dikatakan mengalami kondisi mental retardasi berdasarkan angka IQ, yaitu angka intelegensia umur kronologis yang dibandingkan intelegensia umur yang normal pada waktu bersangkutan.

Angka IQyang normal pada umumnya berkisar diantara 90 s/d 120, sedang diatas angka IQ diatas 120, dinyatakan sebagai angka diatas rata-rata. Sedangkan angka diatas IQ diantara 70 s/d 89 merupakan kelompok yang border line (tidak rata-rata, juga tidak dibawahnya.) Karena bila angkanya dibawah 69 sampai 50 maka kelompok ini dinyatakan sebagai kelompok mental retardasi yang ringan.


Dalam kelompok yang mental retardasi yang ringan ini mereka berada dalam taraf pemahaman penggunaan bahasa cenderung terlambat, termasuk kemampuannya dalam berbicara yang resmi, sehingga akan mengganggu kemandiriannya.


Mereka yang menjadi kelompok dengan IQ sebesar 35 -s/d 49 dikelompokkan dalam mental retardasi yang sedang. Biasanya mereka menunjukkan penampilan kemampuan yang tidak sesuai, dimana tingkat perkembangan bahasa bervariasi ada yang dapat mengikuti percakapan sederhana, ada pula yang tidak. Ada pula yang tidak pernah mampu untuk belajar mempergunakan bahasa, meskipunmungkin mereka dapat mengerti intruksi sederhana dan belajar menggunakan isyarat tangan. Kelompok ini juga sering disebut dengan kelompok imbesil.


Pada mental mental retardasi berat umumnya angka IQ ini berkisar antara 20-s/d34, dimana dalam kategori ini pada umumnya mirip dengan mental retardasi sedang dalam gambaran klinisnya, namun prestasi yang diperlihatkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan mental retardasi sedang.


Kebanykan penyandang mental retardasi ini menderita hendaya motorik yang mencolok atau defisit lain yang menyertainya dan kondisi yang seperti ini menunjukkan adanya kerusakan atau penyimpangan perkembangan yang bermakna secara klinis dari susunan syaraf pusat.


Bila IQ nya dibawah 20 maka kondisi ini praktis berati penyandang yang bersangkutan sangat terbatas kemampuannya, untuk memahami atau memenuhi intruksi yang diberikan. Sebagian besar dari mereka tidak dapat bergerak atau sangat terbatas dalam gerakannya. Hanya mampu berkomonikasi nonverbal yang belum sempurna, Mereka hampir-hampir tidak mempunyai kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri akan kebutuhan dasarnya, dan mereka senantiasa memerlukan bantuan dan pengawasan. Kelompok ini disebut juga dengan idiot, yang mana pemahaman serta penggunaan bahasa sangat terbatas, paling-paling hanya mengerti perintahdasar dan mengajukan permohonan sederhana.


Suatu etiologi organik dapat terjadi pada semua gangguan idiot ini, dan biasanya disertai dengan stabilitas neurologis dan fisik lainnya yang berat yang mempengaruhi mobilitas. Dari kesemuanya ini, mental retardasi diagnosisnya dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan intelektual yang baku, serta pengukuran fungsi adaptif, yang menunjukkan bahwa perilaku anak pada saat sekarang ini adalah secara bermakna dibawah tingkat yang diharapkan. Diagnosis sendiri tidak menyebutkan penyebab ataupun prognosisnya. Suatu riwayat penyakit dan wawancara psikiatrik berguna untuk mendapatkan gambaran longitudinal perkembangan dan fungsi si-anak. (Ayub Sani Ibrahim Guru Besar Ilmu Kesehatan Jiwa)

( sumber : http://www.pelita.or.id/baca.php?id=710 )

Penyebab terjadinya retardasi mental

Ada beberapa faktor penyebab yang dinyatakan sebagai dasar terjadinya retardasi mental, misalnya faktor cedera yang terjadi didalam rahim, saat bayi tersebut masih berbentuk janin. Selain itu dapat pula terjadi cedera pada saat kelahiran (persalinan). Ada teori lain, menyebutkan adanya variasi somatik yang dikarenakan perubahan fungsi kelenjar internal dari sang ibu selama terjadinya kehamilan, dan hal ini belum diketahui secara lengkap mekanismenya.

Selain itu, perlulah diawasi dengan ketat, penyakit-penyakit yang terjadi pada awal masa kanak-kanak, karena hal yang sedemikian itu juga dapat menimbulkan mental retardasi. Disebutkan pula ada sejumlah faktor genetik lainnya yang dapat menimbulkan gangguan mental mental retardasi.


Demikian pula halnya dengan beberapa faktor prenatal yang dialami oleh ibu-ibu yang hamil, misalnya telah sama diketahui bahwa calon ibu-ibu yang mengalami penyakit campak Jerman (Rubella) sering anak yang dikandungnya dikemudian hari akan mengalami gangguan mental retardasi.


Mental Retardasi merupakan ciri yang berkaitan dengan sindroma Down, dan keadaan ini memang agak kurang menyenangkan karena retardasi mental yang sedemikian ini merupakan kelompok retardasi mental dari yang berat sampai pada yang sedang. Jarang mereka dengan keadaan sedemikian ini bisa mencapai IQ sampai dengan 50. Dianogsa sindroma, a Down relatif mudah dibuat pada anak-anak yang lebih besar, namun lebih sukar pada bayi-bayi yang masih kecil.

( sumber : http://www.pelita.or.id/baca.php?id=710 )

Sikap masyarakat terhadap penderita Retardasi Mental

Seseorang yang memiliki defisensi mental (mental retardasi) pada zaman dahulu tidak diperhatikan hak-hak azasinya dan dibiarkan terlantar tanpa ada pengasuhan untuknya. Tentu saja keadaan yang sedemikian ini juga disertai dengan sumpah serapah, bukannya dengan kasih sayang, karena kondisi lahirnya seorang anak yang tidak pernah diharpkan seperti itu.

Malah pada bangsa Spartan dahulu kala, penderita mental retardasi dibuang ketempat yang jauh dari jamahan manusia, dan mereka ditinggalkan begitu rupa. Barulah kemudian disadari, bahwa keadaan tersebut bukanlah yang seperti itu, Artinya mereka itu bukanlah lahir sebagai kutukan.


Dan lucunya, pada abad pertengahan, kurang lebih sekitar abad kesepuluh dan kedua belas penderita mental retardasi disamakan dengan penderita sakit jiwa, dan karena itu, sikap yang diberikan adalah pengasingan dan pengusiran.


Di Perancis, pada abad ke 15 dan ke 16, mulai ada perhatian terhadap penderita mental retardasi, mereka mulai mendapatkan perawatan secara khusus. Mulai dikenal adanya perhatian serta perwatan yang diberikan kepada penderita mental retardasi, dimulai pendekatan ilmiah, setelah sebuah diskusi panjang berdasarkan tulisan dari MarieGaspard, yang berjudul Savage ofAveryon, yaitu ceritera tentang seorang anak laki-laki yang berusia 12 tahun,karena ditinggalkan oleh orang tuanya dihutan, sebagai anak yang mengalami mental retardasi, ditinggalkan oleh orang tuanya. Anak tersebut karena ditinggal dihutan, menyebabkan dia tidak berpendidikan, dan menjadi seorang mental retardasidalam taraf idiot. Anak tersebut kemudian setelah diketemukan hidup dalam hutan, akhirnya dicoba untuk dikembangkan, yaitu dengan melakukan pelatihan, namun anak tersebut tetap berada dalam keadaan idiot. hal ini lebih bersebab karena lamanya dia dalam pengasuhan binatang dan bukan oleh manusia selama didalam hutan.


Murid dari gaspard, yaitu Eduard Seguin, mencurahkan hidupnya dalam mengasuh anak-anak yang menderita mental retardasi, yaitu dengan melatih dan mendidik mereka yaitu dalam pelatihan motor-sensoris.


Penelitian berikutnya berkembang sedemikian rupa, dan kegiatan tersebut lebih diarahkan untuk melakukan pengembangan dalam melatih anak-anak yang mengalami retardasi mental, dan kemudian dikembangkan berbagai penelitian yang bertujuan untuk mengukur tes intelegensi.

( sumber : http://www.pelita.or.id/baca.php?id=710 )

Mental Retardasi, Permasalahan Yang Cukup Pelik

MENGAPA hal ini dinyatakan pelik?. Terutama karena hal yang sedemikian ini berhubungan dengan sejumlah masalah, diantaranya diperlihatkan dalam karakteristik tertentu, seperti misalnya tidak dapat berkomonikasi sesuai dengan usianya. Demikian pula mereka tidak dapat bertingkah laku sesuai dengan tingkat usianya.


Anak-anak yang mengalami mental retardasi tidak berkemampuan untuk mengerti situasi yang serius dan tidak dapat pula berperilaku sesuai dengan situasi hukum yang berlaku. Seseorang anak yang mengalami mental retardasi dalam hal komonikasi mengalami kesulitan karena perbendaharaan kata yang terbatas, mereka mengalami kesulitan (handicap) dalam kemampuan untuk membaca serta untuk menulis.


Dalam hal ini mereka juga mengalami kesulitan dalam bertingkah laku yang sesuai dengan usianya, dan mereka lebih memilih anak-anak yang usianya lebih rendah dari dirinya sebagai temannya.


Mereka juga sukar sekali menerima interaksi dengan teman se-usianya, demikian juga interaksi yang terbatas dengan teman lawan jenisnya kelaminnya. Diketemukan pula sifat yang akan sangat merugikan dirinya, seperti mudah dipengaruhi dan ingin sekali menyenangkan orang lain.


Mereka sering mengalami kesulitan dalam berkomonikasi (bertelepon misalnya) Beberapa diantara kasus-kasus mental retardasi, diketahui bahwa ambang frustasinya rendah sekali, dan sering kekecewaan yang tidak jelas ujung pangkalnya, meledak dengan hebatnya.


Seorang anak yang mengalami mental retardasi tidak dapat mengenal situasi yang serius, terlebih lagi mereka itu tidak dapat merespon suatu tindakan, dengan cara yang impulsif. Dalam perbuatan kriminal mereka selalu ingin menjadi pengikut dan tidak pernah berkenginan menjadi pemimpin.


Kasus-kasus hukum sering dialaminya, misalnya membut suatu pengakuan yang berlebihan, serta sering mengalami kesulitan untuk mengingat bukti atau kesalahan secara terperinci, dan bila melihat polisi mereka biasanya telah menjadi takkut terlebih dahulu.


Yang ingin diketahui oleh pembaca, apa sih sebenarnya retardasi mental tersebut. Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang ditandai dengan sejumlah sikap, yaitu motorik dan dalam kemampuan berbahasa.

( sumber : http://www.pelita.or.id/baca.php?id=710 )

GAKY, Penyakit Penyebab Retardasi Mental

Selasa, 27 November, 2001 oleh: Siswono

Gizi.net - Pertemuan ilmiah nasional “Gangguan Akibat Kekurangan Yodium” (GAKY) 2001 tanggal 4-5 November 2001 berlangsung di Semarang. GAKY merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan retardasi mental, namun sebelumnya sangat mudah dicegah. Penyakit ini bisa disebut defisiensi yodium atau kekurangan yodium. Penyakit ini sangat sedikit diketahui oleh masyarakat dan mungkin masih merupakan problem yang ditelantarkan. Saat ini diperkirakan 1,6 miliar penduduk dunia mempunyai risiko kekurangan yodium, dan 300 juta menderita gangguan mental akibat kekurangan yodium. Kira-kira 30.000 bayi lahir mati setiap tahun, dan lebih dari 120.000 bayi kretin, yakni retardasi mental, tubuh pendek, bisu tuli atau lumpuh.

Sebagian besar dari mereka mempunyai IQ sepuluh poin di bawah potensinya. Di antara mereka yang lahir normal, dengan konsumsi diet rendah yodium akan menjadi anak yang kurang intelegensinya, bodoh, lesu dan apatis dalam kehidupannya. Sehingga, kekurangan yodium akan menyebabkan masyarakat miskin dan tidak berkembang, sementara pada anak menyebabkan kesulitan belajar.

Risiko itu karena kekurangan yodium dalam dietnya, dan berpengaruh pada awal perkembangan otaknya. Yodium merupakan elemen yang sangat penting untuk pembentukan hormon tiroid.

Hormon itu sangat diperlukan untuk pertumbuhan normal, perkembangan mental dan fisik, baik pada manusia maupun hewan.

Efek yang sangat dikenal orang akibat kekurangan yodium adalah gondok, yakni pembesaran kelenjar tiroid di daerah leher.

Di Indonesia telah diadakan penelitian pada anak sekolah dasar antara tahun 1980-1982 di 26 provinsi, didapatkan prevalensi goiter lebih dari 10% pada 68,3% dari 966 kecamatan yang diperiksa, dan di beberapa desa lebih dari 80% penduduknya dengan gondok.

Pada tahun 1998 dilakukan pemeriksaan terhadap 46.000 anak sekolah dari 878 kecamatan yang telah diseleksi pada tahun 1980-1982, dibandingkan data terdahulu prevalensi gondok yang terlihat (visible goiter prevalences) menurun sekitar 37,2 sampai 50%.

Tahun 1991, dilakukan survei di Indonesia bagian Timur (Maluku, Irian Jaya, NTT, Timor Timur) pada 29.202 anak sekolah dan 1749 ibu hamil, didapatkan gondok pada anak sekolah 12-13% dan ibu hamil 16-39%.

Kemudian pada tahun 1996, dilakukan survei di 6 propinsi, didapatkan gondok 3,1-5 %, di Maluku 33%.

Pada tahun 1998, mulai ada Thyro Mobile, yang memproses data ukuran kelenjar gondok dan kadar yodium dalam urin.

Berdasarkan data survei pada tahun 1980-1982, diperkirakan 75.000 menderita kretin, 3,5 juta orang dengan gangguan mental, bahkan di beberapa desa 10-15% menderita kretin.

Dari data hasil penelitian pada anak sekolah dasar, maka pengertian tentang kekurangan yodium sudah jauh dari hanya menyebabkan gondok saja. Yakni menyebabkan pada tumbuh kembang anak, termasuk perkembangan otaknya, sehingga istilahnya saat ini disebut sebagai “Gangguan Akibat Kekurangan Yodium” atau disingkat GAKY.

Ekologi Kekurangan Yodium
Sebagian besat yodium berada di samudra/lautan, karena yodium (melalui pencairan salju dan hujan) pada permukaan tanah, kemudian dibawa oleh angin, aliran sungai, dan banjir ke laut. Kondisi ini, terutama di daerah yang bergunung-gunung di seluruh dunia, walau dapat juga terjadi di lembah sungai.

Yodium yang berada di tanah dan lautan dalam bentuk yodida. Ion yodida dioksidasi oleh sinar matahari menjadi elemen yodium yang sangat mudah menguap, sehingga setiap tahun kira-kira 400.000 ton yodium hilang dari permukaan laut. Kadar yodium dalam air laut kira-kira 50 mikrogram/liter, di udara kira-kira 0,7 mikrogram/meter kubik.

Yodium yang berada dalam atmosfer akan kembali ke tanah melalui hujan, dengan kadar dalam rentang 1,8-8,5 mikrogram/liter. Siklus yodium tersebut terus berlangsung selama ini.

Kembalinya yodium ke tanah sangat lambat dan dalam jumlah sedikit dibandingkan saat lepasnya. Proses ini akan berulang terus menerus sehingga tanah yang kekurangan yodium tersebut akan terus berkurang kadar yodiumnya.

Disini tidak ada koreksi alamiah, dan defisiensi yodium akan menetap. Akibatnya, populasi populasi manusia dan hewan di daerah tersebut yang sepenuhnya tergantung pada makanan yang tumbuh di daerah tersebut akan menjadi kekurangan yodium.

Melihat hal tersebut maka sangat banyak populasi di Asia yang menderita kekurangan yodium berat karena mereka hidup dalam sistem mencari nafkah dengan bertani di daerah gunung atau lembah.

Kekurangan yodium akan menimpa populasi di daerah tersebut yang dalam makanannya tidak ada suplemennya yodium atau tidak ada penganekaragaman dalam makanannya dengan makanan dari daerah lain yang tidak kekurangan yodium.

Akibat Kekurangan Yodium
Istilah GAKY menggambarkan dimensi baru dari pengertian spektrum kekurangan yodium. Berakibat sangat luas dan buruk pada janin bayi baru lahir, anak dan remaja serta orang dewasa dalam populasi yang kekurangan yodium tersebut. Akibat hal itu dapat dikoreksi dengan pemberian yodium.

Kebutuhan Yodium
Kebutuhan yodium setiap hari di dalam makanan yang dianjurkan saat ini adalah :
50 mikrogram untuk bayi (12 bulan pertama)
90 mikrogram untuk anak (usia 2-6 tahun)
120 mikrogram untuk anak usia sekolah (usia 7-12 tahun)
150 mikrogram untuk dewasa (diatas usia 12 tahun)
200 mikrogram untuk ibu hamil dan meneteki.
Ada beberapa pendapat yang salah dan kenyataan yang berbeda. Pendapat yang salah, misalnya, garam beryodium dapat mengobati GAKY seperti kretin, namun kenyataan GAKY tidak dapat diobati kecuali hanya dicegah. Juga pendapat yang salah, bahwa mengkonsumsi yodium sangat berbahaya, kenyataannya mengkonsumsi yodium, melalui garam beryodium dalam jangka lama tidak berbahaya.

Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah sebenarnya sangat sederhana, berikan satu sendok yodium pada setiap orang yang membutuhkan, dan terus menerus. Karena yodium tidak dapat disimpan oleh tubuh dalam waktu lama, dan hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit sehingga harus berlangsung terus menerus.

Pada daerah kekurangan yodium endemik akibat tanah dan hasil panen serta rumput untuk makanan ternak tidak cukup kandungan yodiumnya untuk dikonsumsi oleh penduduk setempat, maka suplementasi dan fortifikasi yodium yang diberikan terus menerus sangat tinggi angka keberhasilannya.

Yang paling sering digunakan untuk melawan GAKY adalah program garam beryodium dan suplementasi minyak beryodium.

Pilihan pertama tentunya dengan garam beryodium karena biayanya sangat murah, dan teknologinya mudah. Untuk suplementasi minyak beryodium, keuntungannya praktis, sebaiknya hanya untuk intervensi pada populasi yang berisiko, walaupun mudah pemakaiannya, namun memerlukan teknologi yang lebih ruwet.

Penyuluhan kesehatan secara berkala pada masyarakat perlu dilakukan, demikian juga perlu diberikan penjelasan pada pembuat keputusan, dan tentunya juga diberikan tambahan pengetahuan kepada tenaga kesehatan.

Selanjutnya yang penting juga adalah penelitian tentang GAKY dengan pendekatan multidisiplin, baik klinis, eksperimental maupun epidemiologi, untuk menemukan cara yang terjamin dan mudah penerapannya.

GAKY yang terlihat di masyarakat atau populasi, hanya sebagai puncak gunung es.

Di daerah endemik, gondoklah yang terlihat dari bagian puncak gunung es tersebut, namun efek dari kekurangan yodium yang utama yaitu kerusakan otak merupakan komponen yang tersembunyi dan tidak terlihat dalam tragedi ini.

Sehingga problem dari GAKY ini sebenarnya adalah pada perkembangan otak, tidak hanya pembesaran kelenjar tiroid atau gondok.

Dengan melihat besarnya populasi yang mempunyai risiko seperti diatas, pantas bila GAKY menjadi problem nasional maupun internasional.

Dengan diadakannya pertemuan ilmiah nasional GAKY 2001 yang tema “Perkembangan Mutakhir tentang Masalah GAKY dalam rangka Indonesia Sehat 2010” harapan kita tentunya dapat mendapatkan konsep, pemikiran serta semangat baru dalam menanggulangi GAKY.


Kekurangan Yodium pada Janin
Kekurangan yodium pada janin akibat Ibunya kekurangan yodium. Keadaan ini akan menyebabkan besarnya angka kejadian lahir mati, abortus, dan cacat bawaan, yang semuanya dapat dikurangi dengan pemberian yodium. Akibat lain yang lebih berat pada janin yang kekurangan yodium adalah kretin endemik.

Kretin endemik ada dua tipe, yang banyak didapatkan adalah tipe nervosa, ditandai dengan retardasi mental, bisu tuli, dan kelumpuhan spastik pada kedua tungkai. Sebaliknya yang agak jarang terjadi adalah tipe hipotiroidisme yang ditandai dengan kekurangan hormon tiroid dan kerdil.

Penelitian terakhir menunjukkan, transfer T4 dari ibu ke janin pada awal kehamilan sangat penting untuk perkembangan otak janin. Bilaman ibu kekurangan yodium sejak awal kehamilannya maka transfer T4 ke janin akan berkurang sebelum kelenjar tiroid janin berfungsi.

Jadi perkembangan otak janin sangat tergantung pada hormon tiroid ibu pada trisemester pertama kehamilan, bilamana ibu kekurangan yodium maka akan berakibat pada rendahnya kadar hormon tiroid pada ibu dan janin. Dalam trisemester kedua dan ketiga kehamilan, janin sudah dapat membuat hormon tiroid sendiri, namun karena kekurangan yodium dalam masa ini maka juga akan berakibat pada kurangnya pembentukan hormon tiroid, sehingga berakibat hipotiroidisme pada janin.

Kekurangan Yodium pada Saat Bayi Baru Lahir
Yang sangat penting diketahui pada saat ini, adalah fungsi tiroid pada bayi baru lahir berhubungan erat dengan keadaan otak pada saat bayi tersebut lahir. Pada bayi baru lahir, otak baru mencapai sepertiga, kemudian terus berkembang dengan cepat sampai usia dua tahun. Hormon tiroid pembentukannya sangat tergantung pada kecukupan yodium, dan hormon ini sangat penting untuk perkembangan otak normal.

Di negara sedang berkembang dengan kekurangan yodium berat, penemuan kasus ini dapat dilakukan dengan mengambil darah dari pembuluh darah balik talipusat segera setelah bayi baru lahir untuk pemeriksaan kadar hormon T4 dan TSH. Disebut hipotiroidisme neonatal, bila didapatkan kadar T4 kurang dari 3 mg/dl dan TSH lebih dari 50 mU/mL.

Pada daerah yang kekurangan yodium sangat berat, lebih dari 50% penduduk mempunyai kadar yodium urin kurang dari 25 mg per gram kreatinin, kejadian hiptiroidisme neonatal sekitar 75-115 per 1000 kelahiran. Yang sangat mencolok, pada daerah yang kekurangan yodium ringan, kejadian gondok sangat rendah dan tidak ada kretin, angka kejadian hipotiroidisme neonatal turun menjadi 6 per 1000 kelahiran.

Dari pengamatan ini disimpulkan, bila kekurangan yodium tidak dikoreksi maka hipotiroidisme akan menetap sejak bayi sampai masa anak. Ini berakibat pada retardasi perkembangan fisik dan mental, serta risiko kelainan mental sangat tinggi. Pada populasi di daerah kekurangan yodium berat ditandai dengan adanya penderita kretin yang sangat mencolok.

Kekurangan Yodium pada Masa Anak
Penelitian pada anak sekolah yang tinggal di daerah kekurangan yodium menunjukkan prestasi sekolah dan IQ kurang dibandingkan dengan kelompok umur yang sama yang berasal dari daerah yang berkecukupan yodium. Dari sini dapat disimpulkan kekurangan yodium mengakibatkan keterampilan kognitif rendah. Semua penelitian yang dikerjakan di daerah kekurangan yodium memperkuat adanya bukti kekurangan yodium dapat menyebabkan kelainan otak yang berdimensi luas.

Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan, dengan pemberian
koreksi yodium akan memperbaiki prestasi belajar anak sekolah. Faktor penentu kadar T3 otak dan T3 kelenjar hipofisis adalah kadar T4 dalam serum, bukan kadar T3 serum, sebaliknya terjadi pada hati, ginjal dan otot. Kadar T3 otak yang rendah, yang dapat dibuktikan pada tikus yang kekurangan yodium, didapatkan kadar T4 serum yang rendah, akan menjadi normal kembali bila dilakukan koreksi terhadap kekurangan yodiumnya.

Keadaan ini disebut sebagai hipotiroidisme otak, yang akan menyebabkan bodoh dan lesu, hal ini merupakan tanda hipotiroidisme pada anak dan dewasa. Keadaan lesu ini dapat kembali normal bila diberikan koreksi yodium, namun lain halnya bila keadaan yang terjadi di otak. Ini terjadi pada janin dan bayi yang otaknya masih dalam masa perkembangan, walaupun diberikan koreksi yodium otak tetap tidak dapat kembali normal.

Kekurangan Yodium pada Masa Dewasa
Pada orang dewasa, dapat terjadi gondok dengan segala komplikasinya, yang sering terjadi adalah hipotiroidisme, bodoh, dan hipertiroidisme. Karena adanya benjolan/modul pada kelenjar tiroid yang berfungsi autonom. Disamping efek tersebut, peningkatan ambilan kelenjar tiroid yang disebabkan oleh kekurangan yodium meningkatkan risiko terjadinya kanker kelenjar tiroid bila terkena radiasi. (dr Rudy Susanto-35)

Sumber : Suara Merdeka, Senin, 5 November 2001

( sumber : http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1006762874,96789,GAKY, Penyakit Penyebab Retardasi Mental )

Rabu, 17 Maret 2010

Kategori Retardasi Mental

1. Anak dengan MR ringan (IQ 52-68) bisa mencapai kemampuan membaca sampai kelas 4-6. Meskipun memiliki kesulitan membaca, tetapi mereka dapat mempelajari kemampuan pendidikan dasar yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Anak-anak dengan RM moderat (IQ 36-51) jelas mengalami kelambatan dalam belajar berbicara dan keterlambatan dalam mencapai tingkat perkembangan lainnya (misalnya duduk dan berbicara). Dengan latihan dan dukungan dari lingkungannya, mereka dapat hidup dengan tingkat kemandirian tertentu.
3. Anak-anak dengan RM berat (IQ 20-35) dapat dilatih meskipun agak lebih susah dibandingkan dengan RM moderat.
4. Anak-anak dengan RM sangat berat (IQ 19 atau kurang) biasanya tidak dapat belajar berjalan, berbicara atau memahami.

materi referensi: http://www.naya.web.id/2007/01/25/keterb…

( sumber : http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081007171209AAo1y5L )

Penyebab dan Kategori Retardasi Mental

Keterbelakangan Mental (Retardasi Mental, RM) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada dibawah rata-rata disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri (berpelilaku adaptif), yang mulai timbul sebelum usia 18 tahun. Orang-orang yang secara mental mengalami keterbelakangan, memiliki perkembangan kecerdasan (intelektual) yang lebih rendah dan mengalami kesulitan dalam proses belajar serta adaptasi sosial. 3% dari jumlah penduduk mengalami keterbelakangan mental.
Secara kasar, penyebab RM dibagi menjadi beberapa kelompok:
1. Trauma (sebelum dan sesudah lahir)
Perdarahan intrakranial sebelum atau sesudah lahir, Cedera hipoksia (kekurangan oksigen), sebelum, selama atau sesudah lahir, Cedera kepala yang berat
2. Infeksi (bawaan dan sesudah lahir)
Rubella kongenitalis, Meningitis, Infeksi sitomegalovirus bawaan, Ensefalitis, Toksoplasmosis kongenitalis, Listeriosis, Infeksi HIV
3. Kelainan kromosom
Kesalahan pada jumlah kromosom (Sindroma Down), Defek pada kromosom (sindroma X yang rapuh, sindroma Angelman, sindroma Prader-Willi), Translokasi kromosom dan sindroma cri du chat
4. Kelainan genetik dan kelainan metabolik yang diturunkan
Galaktosemia, Penyakit Tay-Sachs, Fenilketonuria, Sindroma Hunter, Sindroma Hurler, Sindroma Sanfilippo, Leukodistrofi metakromatik, Adrenoleukodistrofi, Sindroma Lesch-Nyhan, Sindroma Rett, Sklerosis tuberosa
5. Metabolik
Sindroma Reye, Dehidrasi hipernatremik, Hipotiroid kongenital, Hipoglikemia (diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik)
6. Keracunan
Pemakaian alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya pada ibu hamil, Keracunan metilmerkuri, Keracunan timah hitam
7. Gizi
Kwashiorkor, Marasmus, Malnutrisi
8. Lingkungan
Kemiskinan, Status ekonomi rendah, Sindroma deprivasi.

( sumber : http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081007171209AAo1y5L )

Pencegahan Keterbelakangan Mental

Konsultasi genetik akan memberikan pengetahuan dan pengertian kepada orang tua dari anak RM mengenai penyebab terjadinya RM.

Vaksinasi MMR secara dramatis telah menurunkan angka kejadian rubella (campak Jerman) sebagai salah satu penyebab RM.

Amniosentesis dan contoh vili korion merupakan pemeriksaan diagnostik yang dapat menemukan sejumlah kelainan, termasuk kelainan genetik dan korda spinalis atau kelainan otak pada janin.
Setiap wanita hamil yang berumur lebih dari 35 tahun dianjurkan untuk menjalani amniosentesis dan pemeriksaan vili korion, karena mereka memiliki resiko melahirkan bayi yang menderita sindroma Down.
USG juga dapat membantu menemukan adanya kelainan otak.
Untuk mendeteksi sindroma Down dan spina bifida juga bisa dilakukan pengukuran kadar alfa-protein serum.
Diagnosis RM yang ditegakkan sebelum bayi lahir, akan memberikan pilihan aborsi atau keluarga berencana kepada orang tua.

Tindakan pencegahan lainnya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya RM:
# Genetik
Penyaringan prenatal (sebelum lahir) untuk kelainan genetik dan konsultasi genetik untuk keluarga-keluarga yang memiliki resiko dapat mengurangi angka kejadian RM yang penyebabnya adalah faktor genetik.
# Sosial
Program sosial pemerintah untuk memberantas kemiskinan dan menyelenggarakan pendidikan yang baik dapat mengurangi angka kejadian RM ringan akibat kemiskinan dan status ekonomi yang rendah.
# Keracunan
Program lingkungan untuk mengurangi timah hitam dan merkuri serta racun lainnya akan mengurangi RM akibat keracunan.
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan efek dari pemakaian alkohol dan obat-obatan selama kehamilan dapat mengurangi angka kejadian RM.
# Infeksi
Pencegahan rubella kongenitalis merupakan contoh yang baik dari program yang berhasil untuk mencegah salah satu bentuk RM.
Kewaspadaan yang konstan (misalnya yang berhubungan dengan kucing, toksoplasmosis dan kehamilan), membantu mengurangi RM akibat toksoplasmosis.

( sumber : http://www.indonesiaindonesia.com/f/12857-keterbelakangan-mental/ )

Diagnosa dan Pengobatan Keterbelakangan Mental

DIAGNOSA

Seorang anak RM menunjukkan perkembangan yang secara signifikan lebih lambat dibandingkan dengan anak lain yang sebaya.

Tingkat kecerdasan yang berada dibawah rata-rata bisa dikenali dan diukur melalui tes kecerdasan standar (tes IQ), yang menunjukkan hasil kurang dari 2 SD (standar deviasi) dibawah rata-rata (biasanya dengan angka kurang dari 70, dari rata-rata 100).

PENGOBATAN

Tujuan pengobatan yang utama adalah mengembangkan potensi anak semaksimal mungkin.
Sedini mungkin diberikan pendidikan dan pelatihan khusus, yang meliputi pendidikan dan pelatihan kemampuan sosial untuk membantu anak berfungsi senormal mungkin.
Pendekatan perilaku sangat penting dalam memahami dan bekerja sama dengan anak RM.

( sumber : http://www.indonesiaindonesia.com/f/12857-keterbelakangan-mental/ )

Penyebab Keterbelakangan Mental

Tingkat kecerdasan ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan.
Pada sebagian besar kasus RM, penyebabnya tidak diketahui; hanya 25% kasus yang memiliki penyebab yang spesifik.

Secara kasar, penyebab RM dibagi menjadi beberapa kelompok:

1. Trauma (sebelum dan sesudah lahir)
- Perdarahan intrakranial sebelum atau sesudah lahir
- Cedera hipoksia (kekurangan oksigen), sebelum, selama atau sesudah lahir
- Cedera kepala yang berat
2. Infeksi (bawaan dan sesudah lahir)
- Rubella kongenitalis
- Meningitis
- Infeksi sitomegalovirus bawaan
- Ensefalitis
- Toksoplasmosis kongenitalis
- Listeriosis
- Infeksi HIV
3. Kelainan kromosom
- Kesalahan pada jumlah kromosom (Sindroma Down)
- Defek pada kromosom (sindroma X yang rapuh, sindroma Angelman, sindroma Prader-Willi)
- Translokasi kromosom dan sindroma cri du chat
4. Kelainan genetik dan kelainan metabolik yang diturunkan
- Galaktosemia
- Penyakit Tay-Sachs
- Fenilketonuria
- Sindroma Hunter
- Sindroma Hurler
- Sindroma Sanfilippo
- Leukodistrofi metakromatik
- Adrenoleukodistrofi
- Sindroma Lesch-Nyhan
- Sindroma Rett
- Sklerosis tuberosa
5. Metabolik
- Sindroma Reye
- Dehidrasi hipernatremik
- Hipotiroid kongenital
- Hipoglikemia (diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik)
6. Keracunan
- Pemakaian alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya pada ibu hamil
- Keracunan metilmerkuri
- Keracunan timah hitam
7. Gizi
- Kwashiorkor
- Marasmus
- Malnutrisi
8. Lingkungan
- Kemiskinan
- Status ekonomi rendah
- Sindroma deprivasi.



Anak dengan MR ringan (IQ 52-68) bisa mencapai kemampuan membaca sampai kelas 4-6. Meskipun memiliki kesulitan membaca, tetapi mereka dapat mempelajari kemampuan pendidikan dasar yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka memerlukan pengawasan dan bimbingan serta pendidikan dan pelatihan khusus.
Biasanya tidak ditemukan kelainan fisik, tetapi mereka bisa menderita epilepsi.
Mereka seringkali tidak dewasa dan kapasitas perkembangan interaksi sosialnya kurang.
Mereka mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru dan mungkin memiliki penilaian yang buruk.
Mereka jarang melakukan penyerangan yang serius, tetapi bisa melakukan kejahatan impulsif.

Anak-anak dengan RM moderat (IQ 36-51) jelas mengalami kelambatan dalam belajar berbicara dan keterlambatan dalam mencapai tingkat perkembangan lainnya (misalnya duduk dan berbicara). Dengan latihan dan dukungan dari lingkungannya, mereka dapat hidup dengan tingkat kemandirian tertentu.

Anak-anak dengan RM berat (IQ 20-35) dapat dilatih meskipun agak lebih susah dibandingkan dengan RM moderat.

Anak-anak dengan RM sangat berat (IQ 19 atau kurang) biasanya tidak dapat belajar berjalan, berbicara atau memahami.

Angka harapan hidup untuk anak-anak dengan RM mungkin lebih pendek, tergantung kepada penyebab dan beratnya RM. Biasanya, semakin berat RMnya maka semakin kecil angka harapan hidupnya.

( sumber : http://www.indonesiaindonesia.com/f/12857-keterbelakangan-mental/ )

Defenisi Keterbelakangan Mental

Keterbelakangan Mental (Retardasi Mental, RM) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada dibawah rata-rata disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri (berpelilaku adaptif), yang mulai timbul sebelum usia 18 tahun.

Orang-orang yang secara mental mengalami keterbelakangan, memiliki perkembangan kecerdasan (intelektual) yang lebih rendah dan mengalami kesulitan dalam proses belajar serta adaptasi sosial.
3% dari jumlah penduduk mengalami keterbelakangan mental.

( sumber : http://www.indonesiaindonesia.com/f/12857-keterbelakangan-mental/ ,
( sumber : Apotik online dan media informasi obat - penyakit :: m e d i c a s t o r e . c o m )

Anak autis juga bisa belajar




Saat si kecil terdiagnosa mempunyai bakat khusus berupa autisme, rasa kaget tak dapat dipungkiri pasti ada di pikiran Anda. begitu juga dengan kehidupannya nanti. Bagaimana caranya belajar? Bagaimana nanti dengan perkembangannya? Apa yang sesungguhnya dibutuhkan anak autis? Semoga yang di bawah ini dapat membantu menjawab berbagai pertanyaan Anda.


1. Terapi apa yang paling cocok bagi anak autis?
Untuk menentukan terapi yang paling cocok bagi anak autis pada awalnya perlu dilakukan asesmen atau pemeriksaan menyeluruh terhadap anak itu sendiri. Asesmen itu bertujuan untuk mengetahui derajat keparahan, tingkat kemampuan yang dimilikinya saat itu, dan mencari tahu apakah terdapat hambatan atau gangguan lain yang menyertai. Biasanya terapi yang diberikan adalah terapi untuk mengembangkan ketrampilan-keterampilan dasar seperti, ketrampilan berkomunikasi, dalam hal ini keterampilan menggunakan bahasa ekspresif (mengemukakan isi pikiran atau pendapat) dan bahasa reseptif (menyerap dan memahami bahasa). Selain itu, terapi yang diberikan juga membantu anak autis untuk mengembangkan ketrampilan bantu diri atau self-help, ketrampilan berperilaku yang pantas di depan umum, dan lain-lain. Dengan kata lain, terapi untuk anak autis bersifat multiterapi.

2. Apa kendala paling sulit pada saat terapi anak autis?
Kendala pada terapi anak autis tergantung pada kemampuan unik yang ia miliki, ada anak autis yang dapat berkomunikasi, ada yang sama sekali tidak. Namun sebagian besar anak autis memiliki keterbatasan atau hambatan dalam berkomunikasi sehingga ini menjadi kendala besar saat terapi. Anak belum dapat mengikuti instruksi guru dengan baik. Bahkan anak kadang tantrum saat diminta mengerjakan tugas yang diberikan. Terkadang anak autis suka berbicara, mengoceh, atau tertawa sendiri pada waktu belajar.

3. Bagaimana sikap anak autis saat menjalani terapi?
Biasanya anak autis memiliki hambatan atau keterbatasan dalam berkomunikasi. Hal tersebut terlihat dari perilaku mereka yang cenderung tidak melihat wajah orang lain bila diajak berinteraksi, sebagian besar kurang memiliki minat terhadap lingkungan sekitar, dan sebagian cenderung tertarik terhadap benda dibandingkan orang.

4. Apa perubahan yang diharapkan setelah terapi?
Pada akhirnya, anak autis diharapkan dapat memiliki berkomunikasi, yang tadinya cenderung bersifat satu arah menjadi dua arah. Dalam artian ada respon timbal balik saat berkomunikasi atau bahasa awamnya “nyambung”. Kemudian perubahan lain yang juga diharapkan adalah memiliki ketrampilan bantu diri, kemandirian, serta menyatu dan berfungsi dengan baik di lingkungan sekitarnya. Hasil yang menggembirakan tentu sangat diharapkan orang tua anak penderita autis. Ini terlihat bila anak tersebut sudah dapat mengendalikan perilakunya
sehingga tampak berperilaku normal, berkomunikasi dan berbicara normal,
serta mempunyai wawasan akademik yang cukup sesuai anak seusianya.

5. Seberapa cepat perubahan akan terlihat?
Perubahan atau kemajuan yang terjadi tentunya bersifat individual. Hal tersebut tergantung pada hasil asesmen, gaya belajar anak autis, dan intensitas dari terapi atau pendidikan yang diberikan serta kerjasama antara orangtua, pengasuh anak dengan para pendidik, terapis atau ahli kesehatan

6. Bagaimana mengenai pendidikan anak autis?
Perlu diketahui bahwa setiap anak autis memiliki kemampuan serta hambatan yang berbeda-beda. Ada anak autis yang mampu berbaur dengan anak-anak ’normal’ lainnya di dalam kelas reguler dan menghabiskan hanya sedikit waktu berada dalam kelas khusus namun ada pula anak autis yang disarankan untuk selalu berada dalam kelas khusus yang terstruktur untuk dirinya. Anak-anak yang dapat belajar dalam kelas reguler tersebut biasanya mereka memiliki kemampuan berkomunikasi, kognitif dan bantu diri yang memadai. Sedangkan yang masih membutuhkan kelas khusus biasanya anak autis dimasukkan dalam kelas terpadu, yaitu kelas perkenalan dan persiapan bagi anak autis untuk dapat masuk ke sekolah umum biasa dengan kurikulum umum namun tetap dalam tata belajar anak autis, yaitu kelas kecil dengan jumlah guru besar, dengan alat visual/gambar/kartu, instruksi yang jelas, padat dan konsisten, dsb).

7. Bagaimana metode belajar yang tepat bagi anak autis?
Metode belajar yang tepat bagi anak autis disesuaikan dengan usia anak serta, kemampuan serta hambatan yang dimiliki anak saat belajar, dan gaya belajar atau learning style masing-masing anak autis. Metode yang digunakan biasanya bersifat kombinasi beberapa metode. Banyak, walaupun tidak semuanya, anak autis yang berespon sangat baik terhadap stimulus visual sehingga metode belajar yang banyak menggunakan stimulus visual diutamakan bagi mereka. Pembelajaran yang menggunakan alat bantu sebagai media pengajarannya menjadi pilihan. Alat Bantu dapat berupa gambar, poster-poster, bola, mainan balok, dll. Pada bulan-bulan pertama ini sebaiknya anak autis didampingi oleh seorang terapis yang berfungsi sebagai guru pembimbing khusus

8. Pengajar seperti apa yang dibutuhkan bagi anak autis?
Pengajar yang dibutuhkan bagi anak autis adalah orang-orang yang selain memilii kompetensi yang memadai untuk berhadapan dengan anak autis tentunya juga harus memiliki minat atau ketertarikan untuk terlibat dalam kehidupan anak autis, memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, dan kecenderungan untuk selalu belajar sesuatu yang baru karena bidang autisma ini adalah bidang baru yang selalu berkembang.

9. Suasana belajar seperti apa yang dibutuhkan anak autis?
Tergantung dengan kemampuan dan gaya belajar masing-masing anak autis. Ada anak autis yang mencapai hasil yang lebih baik bila dibaurkan dengan anak-anak lain, baik itu anak ’normal’ maupun anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya. Ada anak autis yang lebih baik bila ditempatkan pada suasana belajar yang tenang, tidak banyak gangguan atau stimulus suara, warna, atau hal-hal lain yang berpotensi mengalihkan perhatian.

10. Apa saja yang diajarkan dalam pendidikan anak autis?
Komunikasi (bahasa ekspresif dan reseptif), ketrampilan bantu diri, ketrampilan berperilaku di depan umum, setelah itu dapat diajarkan hal lain yang disesuaikan dengan usia dan kematangan anak serta tingkat inteligensi,.

11. Sampai umur berapa tahun anak autis mendapat pendidikan khusus?
Semua itu sekali lagi tergantung pada kemampuan anak, gaya belajar anak, serta sejauh mana kerjasama antara orangtua atau pengasuh dengan pendidik atau terapis.

12. Umur berapa anak sudah dapat dilepas masuk ke sekolah umum?
Lagi-lagi hal ini tergantung pada kemampuan anak.

13. Berapa besar kemungkinan anak autis berbaur dengan murid lain di sekolah biasa?
Kemungkinan selalu ada. Akan tetapi semua itu tergantung pada kemampuan anak autis tersebut dan apakah sistem pendidikan atau fasilitas di sekolah ’biasa’ itu mendukung berbaurnya anak autis dengan murid-murid lain dalam kelar reguler.

14. Apakah pada akhirnya anak autis dapat hidup di lingkungan umum tanpa perlakuan khusus?
Untuk beberapa kasus yang amat jarang terjadi (sampai saat ini), ada individu dengan autisma dengan kemampuan berkomunikasi yang memadai, tingkat inteligensi yang memadai, serta pendidikan dapat mendukung dirinya untuk mandiri dan berbaur dengan lingkungan tanpa perlakuan khusus. Hal ini bergantung pada faktor internal (diri anak autis sendiri) dan faktor eksternal, yaitu lingkungan, apakah sistem di lingkungan mendukung atau memungkinkan anak autis untuk dapat berfungsi secara baik dalam kesehariannya.

( sumber : http://www.parenting.co.id/article/article_detail.asp?catid=2&id=12 )

Tes Baru Deteksi Gen Autis

JAKARTA, KOMPAS.com — Tipe terbaru tes genetik untuk mendeteksi abnormalitas gen pada anak yang mengarah pada autisme dinilai lebih akurat dibandingkan standar tes yang selama ini ada. Demikian kesimpulan studi terkini.

Dalam penelitian tersebut, para ahli memberikan tiga pilihan jenis tes pada 933 orang berusia 13-22 tahun yang pernah didiagnosis autis. Tiga jenis tes itu, yakni G-banded karyotype tes, chromosomal microarray analysis (CMA), dan fragile X testing. Ketiga tes tersebut merupakan jenis tes yang sudah banyak dipakai.

Karyotype test mengenali lanturan (aberasi) kromosom yang terkait dengan autis sebanyak 2 persen, sementara fragile X mutasi genetik ditemukan pada 0,5 persen pasien. Sedangkan CMA berhasil mendeteksi kelainan kromosom lebih dari 7 persen pada pasien. Perbedaan hasil yang signifikan ini dinilai memiliki tingkat keakuratan yang lebih besar. Oleh sebab itu, para ahli menyarankan agar CMA menjadi tes pertama untuk mengetahui sindrom autisme pada anak.

Tujuan dari dilakukannya tes genetik pada anak yang autis adalah membantu orangtua menentukan apakah jika nanti hamil lagi mereka akan memiliki anak yang juga autis atau tidak.

Apabila hasil tes menemukan kromosom yang tidak normal pada anak, orangtua juga perlu melakukan tes. Jika ditemukan gen yang abnormal, bisa disimpulkan orangtua tersebut berisiko tinggi memiliki anak autis lagi. Namun, jika ternyata gennya normal, ada kemungkinan terjadi duplikasi sehingga risiko memiliki anak autis lebih rendah.

"Pada sebagian besar kasus, kami meyakini paling tidak ada kecenderungan genetik pada terjadinya autis, tetapi kemampuan tes yang ada untuk mengidentifikasi gen yang spesifik itu sulit karena teknologinya belum ada. Selain itu, secara umum para ahli memang belum bisa menentukan secara pasti mekanisme genetik yang memicu autis," kata Dr Robert Marion, ahli genetik anak dari Montefiore Medical Center, New York, Amerika Serikat.

Saat ini standar praktis untuk menguji apakah seorang anak menderita autis adalah dua jenis tes genetik, yakni karyotype dan fragile X testing, yang sudah dikenal sejak 1960-an.

Seperti halnya karyotyping, CMA juga melihat kromosom yang tidak normal, tetapi 100 kali lebih akurat. CMA bisa mengenali submikroskopik duplikasi DNA yang disebut varian ulang nomor yang dikaitkan dengan autisme.

Kromosom bisa diibaratkan sebuah perpustakaan dan tiap buku adalah gennya. "Apa yang kita cari adalah buku yang sampulnya sudah hilang yang menggambarkan hilangnya fragmen kromosom atau ekstra fragmen kromoson yang mengandung gen autis," kata Dr David Miller, ahli genetik.

Meski begitu, masih banyak hal yang belum bisa diungkap oleh para pakar genetik. Sebanyak 10-15 persen kasus autisme tidak berasal dari kelainan genetik. Semuanya masih misterius.

Penulis: AN | Editor: acandra | Sumber : Healthday News

( sumber : http://kesehatan.kompas.com/read/2010/03/16/11190591/Tes.Baru.Deteksi.Gen.Autis )

Terapi Bagi Individu dengan Autisme

Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.

Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.

  • Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
  • Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
  • TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
  • Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
  • Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
  • Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
  • Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
  • Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).

Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.

Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

( sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme )

Apa itu Autisme

Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun.

Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.

Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal.

Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.

Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas.

Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat.

Oleh karena banyaknya perbedaan-perbedaan tersebut di antara masing-masing individu, maka saat ini gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA).

Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).

Prevalensi autisme menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 4:1

( sumber : http://www.autis.info/index.php/tentang-autisme/apa-itu-autisme )

Apa itu Autisme

Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun.

Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.

Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal.

Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.

Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas.

Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat.

Oleh karena banyaknya perbedaan-perbedaan tersebut di antara masing-masing individu, maka saat ini gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA).

Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).

Prevalensi autisme menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 4:1

( sumber : http://www.autis.info/index.php/tentang-autisme/apa-itu-autisme )

Rabu, 10 Maret 2010

Penanganan Autisme di Indonesia

Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:

  1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
  2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
  3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
  4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
  5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.
( sumber : www.wikipedia.com )

Perkembangan Penelitian Autisme

Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:

  • Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
  • Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
  • Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
  • Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior ModificationUCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi. kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di

Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:

  • 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
  • 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
  • 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
  • 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
  • 2000s Litigation, school-based services
( sumber : www.wikipedia.com )

Implikasi Diagnosa Autisme

Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.

Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.

Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.

( sumber : www.wikipedia.com )

Prevalensi Individu dengan autisme

Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:

  • Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
  • Chromosome 7 – speech / language chromosome
  • Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth

Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.

Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

( sumber : www.wikipedia.com )

Gejala anak menderita autisme

Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.

Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.

  1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
  2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
  3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
  4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
  5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu

Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.

Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :

  1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
  2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
  3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
  4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
  5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu

Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.

( sumber : www.wikipedia.com )

Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV

A. Interaksi Sosial (minimal 2):

  1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
  2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
  3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
  4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah

B. Komunikasi Sosial (minimal 1):

  1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
  2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
  3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
  4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social

C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):

  1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
  2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
  3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat

Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.

Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.

Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:

  • Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
  • The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
  • The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
  • The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.

Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebagainya.

( sumber : www.wikipedia.com )